Tafsir Fiqhi
1.
Tafsir Fiqhi
Menurut
Mohammad Ridho, M. A dalam bukunya; Islam Tafsir dan Dinamika Sosial, belum
ditemukan keterangan yang jelas tentang pengertian tafsir Fiqhi secara
definitive. Namun, untuk mendapatkan pengertian yang memadai, penulis Muhammad
Ridha berusaha untuk mengaitkan dengan pengertian dari Fiqh itu sendiri sebagai
bagian dari rangkaian kata tarsir fiqhi tersebut.
Menurut
para fuqaha’ (jumhur al-mutaakhirin), fiqh adalah ilmu yang menerangkan
hukum-hukum syara’ atau hukum-hukum fiqh yang berpautan dengan masalah-masalah
alamiah yang dikerjakan oleh para mukallaf sehari-hari, yang diperoleh dari
dalil-dalinya yang tafsil.[i]
Senada dengan pegertian ini, Abdul Wahhab Khallaf mendefinisikan fiqh sebagai suatu
proses dalam melahirkan hukum syara’ yang bersifat praktis yang diperoleh dari
dalil-dali terperinci.[ii]
Sejalan
dengan pengertian ini, apabila dihadapkan kepada ayat-ayat Al-Qur’an yang
mengatur perbuatan (amaliyah) manusia, baik yang seharusnya dikerjakan maupun
yang seharusnya ditinggalkan (ayat-ayt hukum), yang meliputi ibadat, adat
mu’amalah, ahwal al-syahsiyyah, jinayat, ‘uqubat, dusturiyah, dauliyahnya,
jihad dan lain sebagainya.[iii]
Maka tarsir fiqhi dapat diartikan sebagai keterangan atau penjelasan yang
diberikan oleh fuqaha’ terhadap ayat-ayat hukum yang ada dalam Al-Qur’an secara
Khusus. Dalam hal ini. Manna’ al-Qattan secara implisit juga menjelaskan bahwa
tafsir fiqhi adalah tafsir yang menggunkan corak pembahasan ayat-ayat hukum
dalam Al-Qur’an.[iv]
Senada
dengan pengertian ini, Farid Essack menyatakan bahwa munculnya berbagai
kategori semisal tafsir syi’ah, tafsir muktazilah, tafsir filsafat, termasuk
juga tafsir fiqhi, hal itu menunjukkan adannya kesadaran kelompok tertentu,
ideologi tertentu, dan horison tertentu dari tafsir.[v]
Tafsir fiqhi tumbuh dan berkembang dalam masa yang cukup panjang. Dengan demikian, keberadaan tafsir fiqhi perlu mendapatkan perhatian yang serius dalam rangka memahami al-Qur’an secara tepat dan benar sekaligus sesuai dengan perkembangan zaman dan diterima di masa yang terus berkembang.
Dinamika perkembangan tarsir fiqhi, dalam periodisasinya, dapat dikelompokka menjadi tahap, yaitu:
Tafsir fiqhi tumbuh dan berkembang dalam masa yang cukup panjang. Dengan demikian, keberadaan tafsir fiqhi perlu mendapatkan perhatian yang serius dalam rangka memahami al-Qur’an secara tepat dan benar sekaligus sesuai dengan perkembangan zaman dan diterima di masa yang terus berkembang.
Dinamika perkembangan tarsir fiqhi, dalam periodisasinya, dapat dikelompokka menjadi tahap, yaitu:
1.
Pada masa Nabi Muhammad Saw sampai degan terbentuknya mazhab-mazhab
fiqh Islam.
2.
Masa permulaan berdirinya mazhab fiqh Islam.
3.
Masa tumbuhnya taklid dan fanatisme mazhab.[vi]
Pertama, pada masa Nabi Muhammad Saw sampai dengan terbentuknya
mazhab fiqh Islam. Kandungan al-Qur’an sangat luas mencakup berbagai dimensi
kehidupan, termasuk tentang persoalan hukum. Walaupun tertulis dalam bahasa
Arab, bukan berarti kandungan al-Qur’an dapat dipahami oleh seluruh umat Islam,
termasuk bangsa Arab sekalipun. Berbagai persoalan yang muncul dalam memahami
kandungan Al-Qur’an pada masa Nabi Muhammad Saw, dapat ditanyakan langsung
kepada beliau. Demikian juga dengan penafsiran fiqhiyahnya. Dengan demikian,
semua persoalan yang berkaitan dengan usaha pemahaman terhadap Al-Qur’an dapat
diselesaikan karena Nabi Muhammad Saw memeiliki otoritas dalam melakukan
pemaknaan dan pemahaman terhadap Al-Qur’an.
Setelah Nabi Muhammad Saw wafat, permasalahan yang dihadapi kaum
muslin bertambah kompleks, selaras dengan semakin luasnya wilayah kekuasaan
Islam dan keragaman pemeluknya. Hal ini menuntut peran hukum syar’i yang lebih
untuk menjawab semua persoalan yang terjadi. Secara metadologis, para sahabat
apan=bila menemukan masalah yang perlu dicari penyelesaian hukumnya , maka
pertama kali mereka mencari hukumya dalam Al-Qur’an. Jika tidak ditemukan
hukumnya dala Al-Qur’an, maka sahabat mencari dalam hadist Nabi. Dan apabila
tidak ditemukan dalam keduanya, baru mereka melakukan ijtihad. Akan tetapi
diantara hasil ijtihad para sahabatpun kadangkala terjadi perbedaan. Sebagai
contohnya perbedaan pendapat antara Umar bin Khattab dengan Ali binn Abi Thalib
tentang msalah iddah bagi wanita hamil yang ditinggal mati suaminya.[vii]
Kedua, masa permulaan berdirinya mazhab fiqh Islam. Pada masa awal
berdirinya madzhab-madzhab fiqh, permasalahan yang terjadi di kalangan kaum
muslimin bertambah kompleks. Dalam menghadapi kemajemukan maslah tersebut,
setiap imam madzhab menganalisanya, dengan tetap bersumber pada Al-Qur’an,
sunnah, dna sumber-sumber tasyri’ lainnya. Hasil analisa yang mereka lakukan yang
kemudian menghasilkan kesimpulan-kesimpulan hukum yang mereka yakini
kebenarannya, dilakuakn dengan berdasarkan dalil-dalil dan alasan yang mereka
gunakan. Perbedaan pendapat diantara mereka apabila dibandingkan dengan masa
sebelunya semakin banyak terjadi. Akan tetapi perbedaan tersebut belumlah
membawa kepada fanatisme. Mereka tidak merasa hina bila mereka membatalkan
pendapatnyya dan mengikuti pendapat yang lain, jika pendapat tersebut dipandang
lebih benar.[viii]
Ketiga, masa tumbuuhnya taklid dan fanatisme madzhab. Stelah masa
imam-imam madzhab, ruh taklid dan fanatisme madzhab justru tumbuh dengan subur.
Kondisi ini terus berlangsung sampai mecapai titik kulminasi. Betuknya
bermacam-macam. Ada yang mengkaji ucapan-ucapan imam madzhab sebagaimana mereka
mengkaji Al-Qur’an, ada yang mengeluarakan daya kemampuan ilmiah mereka untuk
mendukung imam madzhabnya dan berusa membatalkan pendapat madzhab-madzhab
lainnya, dan berbagai bentuk fanatisme yang membabi buta lainnya.[ix]
[i] TM Hasbie Ash Shidieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, cet V (Jakarta: Bulan
Bintang, 1991), h.17.
[ii] Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilm
Ushul al-Fiqh, h. 1.
[iii] Ibid, h. 38.
[iv] Manna’ al-Qathan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, h. 377.
[v] Farid Essack, Qur’an; Pluralism & Liberation, h. 61.
[vi] Muhammad Hussein Dzahaby, Al-Tafsir wa al-Mufassiru, h. 432-434.
[vii] Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqih Islam, Sebuah Pengantar, H. 34.
[viii] Muhammad Hussein Dzahaby, Al-tafsir wa al-Mufassirun, h.434.
[ix] Ibid.
[x] Mohammad Ridho, M.A. Islam Tafsir dan Dinamika Sosial.
Comments
Bermanfaat ;) :)
Terima Kasih kawan.