Problem Zakat Fitrah Sekarang Ini
Problem
Zakat Fitrah Sekarang Ini
Sebentar lagi
kita akan menjemput hari raya ‘idul fitri. Hari dimana penuh dengan kesucian dan
kegembiraan. Umat Islam telah melewati ujian yang begitu besar di bulan
Ramadhan, dan akhirnya pada awal bulan Syawal Umat Islam kembali kepada
fitrahnya (kesuciannya).
Dalam bulan
Ramadhan ada banyak amal perbuatan yang itu menjadi gudang pahala bagi umat
Islam. Adakalanya amal perbuatan itu sunnah, seperti membaca al-Qur’an, Shalat
tarawih, Shalat Tasbih, dan lainnya. Adapula amal perbuatan yang wajib, seperti
puasa dan melaksanakan Zakat Fitrah.
Islam mewajibkan
bagi umatnya untuk melaksanakan zakat fitrah. Zakat Fitrah atau
dalam kitab kuning biasa disebut dengan zakat al-fith atau shadaqah
al-Fithr adalah memberikan sebagian hartanya untuk mencari ridla Allah. Zakat Fitrah hukumnya wajib bagi semua umat Islam yang
mampu untuk menjalankannya.
Adapun dalil yang
mengenai
zakat fitrah adalah:
تأسيس الأحكام
(3/ 164)
عن ابن عباس قال
: ( فرض رسول الله - صلى الله عليه وسلم - زكاة الفطر طهرة للصائم من اللغو والرفث
وطعمة للمساكين من أداها قبل الصلاة فهي زكاة مقبولة ومن أداها بعد الصلاة فهي صدقة
من الصدقات) رواه أبو داود في كتاب الزكاة باب زكاة الفطر رقم 1609وابن ماجة في كتاب
الزكاة باب صدقة الفطر رقم 1827 ( حسنه الألباني ) .
“Riwayat dari Ibnu Abbas ra berkata: “Rasulullah saw.
Mewajibkan zakat fitrah bagi orang yang puasa untuk membersihkan (dirinya)
dari suatu perbuatan yang sia-sia dan yang kotor. Dan (zakat tersebut) dapat
memberi makanan bagi orang-orang yang miskin. Barang siapa melaksanakannya
sebelum shalat ‘Id maka zakatnya diterima (oleh Allah), barang siapa
melaksanakannya setelahnya maka dianggap sebagai sedekah.”
Dari hadits tersebut
mempunyai 4 makna yang terkandung di dalamnya:
1.
Rasulullah saw mewajibkan zakat fitrah.
a. Kemaslahatan bagi muzakki (pemberi zakat) yaitu
membersihkan dari perbuatan yang sia-sia dan kotor.
b. Kemaslahatan bagi penerima zakat, yaitu mendapat
pemberi berupa makanan
3.
Batas waktu zakat fitrah adalah sebelum dimulainya shalat ‘Id.
4.
Zakat fitrah berbeda dengan sedekah.
Kata al-lagh’u dimaksud adalah perkataan yang
terlanjur diucapkan tetapi tidak diharapkan, seperti berkata sumpah (yang tidak
berguna). Kata al-rafats mempunyai dua makna, pertama perbuatan foreplay dan jima’ (bersetubuh), dan kedua perkataan yang kotor.[2]
Adapun hadits yang lain
tentang kewajiban zakat fitrah adalah:
فقد أخرج عبد الرزاق بسند صحيح عن عبد بن ثعلبة قال
: خطب رسول الله صلى الله عليه و سلم قبل يوم الفطر بيوم أو يومين فقال : " أدوا
صاعا من بر أو قمح أو صاعا من تمر أو شعير عن كل حر أو عبد صغير أو كبير[3]
Telah di takhrij oleh
Abdurrozaq dengan sanad yang shahih tentang riwaya dari Abd bin Tsa’labah
berkata: “Rasulullah berkhutbah sekitar sehari atau dua hari sebelum hari raya
‘Idul Fitri: “Bagi orang merdeka atau budak yang masih kecil mapun dewasa
tunaikanlah satu sha’ dari bur dan qumh (sejenis gandum) atau satu sha’ dari
kurma dan sya’ir(sejenis gandum)”.
Makna
yang terkandung dalam hadits ini adalah kewajiban mengeluarkan zakat berupa komoditas
yang berharga yang bersifat primer dan lazimnya dimiliki oleh setiap orang,
sehingga komoditas tersebut bisa dimanfaatkan oleh orang miskin. Komoditas berharga
dan primer pada zaman itu adalah aneka macam gandum dan kurma.
Problematika sekarang dalam memaknai zakat fitrah di
tengah masyarakat kita adalah:
1.
rata-rata orang yang menjadi muzakki (pemberi zakat) juga menjadi
mustahiq (penerima zakat). Terkadang si A memberi beras kepada si B. Si
B juga memberi beras kepada si C. Si C juga memberi beras kepada si A. Ketiganya
ini secara tidak langsung menjadi muzakki dan mustahiq. Pasalnya si
A menjadi Muzakki dan diberikan kepada B, juga sebagai mustahiq
karena menerima dari si C. Begitupun B dan C.
2.
Tak sedikit beras yang diberikan kepada mustahiq tidak dikonsumsi
olehnya. Terkadang beras tersebut dijual untuk mendapat uang. Uang tersebut
kemudian dibelikan untuk membeli kebutuhan yang ini. Bahkan, terkadang beras
tersebut dikasihkan kepada orang lain (untuk nyumbang atau memberi
sedekah kepada orang lain yang punya acara, misalnya resepsi, sunatan, dll)
Problematika ini yang menurut
saya kurang pas dan tidak sesuai dengan prinsip ajaran dari zakat. Karena pendistribusian
zakat fitrah seharusnya diberikan orang yang lebih membutuhkan atas barang tersebut.
Nabi Muhammad saw. berkata:
أغنوهم
عن المسألة فى هذا اليوم
“Jadikanlah mereka
serba kecukupan dari meminta-minta pada hari ini”
menurut saya solusinya adalah:
1.
untuk sekarang ini perlu adanya ukuran standar baru untuk menilai orang
miskin dan menilai orang yang seharusnya menjadi muzakki. Ukuran standar
muzakki yang ditetapkan ulama dahulu adalah orang yang bisa mencukupi
kebutuhannya dan mencukupi kebutuhan yang menjadi tanggung jawabnya. Jika menggunakan
standar tersebut akan menjadi daurun (perputaran tak berujung) dalam
pendistribusian zakat. Seperti ilustrasi A, B, dan C di atas. Standar baru untuk
muzakki haruslah ditetapkan, misalnya muzakki adalah orang yang
setiap harinya dapat mecukupi kebutuhan primer dan sekundernya. Kemudian batas
standar bagi orang miskin juga harus ditetapkan, sehingga orang yang berada
dalam standar bahkan di bawahnya mendapat santunan zakat fitrah. Misalnya orang
yang setiap harinya mempunyai pekerjaan akan tetapi gainya di bawah UMR. Sehingga
gajinya pas-pasan bahkan kurang untuk mencukupi kebutuhan primer akan sandang,
pangan, dan papan.
2.
Melihat konteks sekarang bahwa kebanyakan orang saat ini yang berposisi
sebagai mustahiq sudah mempunyai beras dan makanan pokok. Kemudian untuk
apa orang tersebut diberi beras lagi? Percuma mereka diberi beras tapi tidak
dibutuhkan dan lebih memilih untuk mejualnya. Maka dari itu, untuk lebih
memberi asas kemanfaatan bagi mustahiq, zakat fitrah seharusnya diubah
yang semula biasanya berupa beras (makanan pokok) kemudian diganti dengan uang
(nuqud). Pendapat ini adalah pendapat yang dipegang Ulama Hanafiyyah,
mazhab ats-Tsauri, Umar bin Abdul Aziz, dan ulama Syafi’iyyah saat ini, seperti
Mufti Mesir; Syaikh Ali Jum’ah, dan Syaikh Yusuf al-Qaradawi. Zakat fitrah
berupa uang dinilai lebih bermanfaat dan lebih bermaslahah daripada beras
(makanan pokok). Karena uang adalah salah satu alat tukar yang dapat
dibelanjakan untuk membeli makanan pokok tentunya. Jika mustahiq sudah
mempunyai makanan pokok, maka uang tersebut dapat digunakan untuk membeli
kebutuhan yang lain yang dibutuhkan. Akhirnya mustahiq tidak perlu
repot-repot menjual berasnya.
Kesimpulannya zakat fitrah
memang diwajibkan oleh Allah untuk membantu saudara-saudara muslim kita yang
membutuhkan. Sehingga ketika saudara-saudara muslim yang membutuhkan diberi
santunan zakat fitrah, setidaknya saudara muslim tersbut bisa mencicipi apa
yang dirasakan saudara muslim yang diberi kecukupan harta, walaupun cuma pada pada
hari itu (‘idul fitri) saja.
Comments