Taklif dan Implikasi Masyaqah terhadap Taklif

BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG MASALAH
Manusia adalah satu-satunya makhluk yang diciptakan Allah yang dianugrahi akal. Karena diberi akal, tentu saja manusia mempunyai perbedaan dengan makhluk yang lainnya. Ketika manusia hendak melakukan sesuatu, maka manusia dituntuk untuk berfikir tentang sesuatu yang akan diperbuat.
Implikasi dari diberi akal yaitu manusia harus melandasi perbuatannya dengan akal. Selain itu, manusia juga diberi beban oleh Allah yang dibebankan kepada manusia. Manusia dituntut untuk mengabdi dan menyembah kepada Allah. Interperetasi dari mengabdi dan menyembah yaitu melakukan segala yang diperintahkan-Nya dan menjauhi apa yang dilarang-Nya.
Karena Manusia diberi beban, kemudian para ulama menganalisa dan menelitinya yang bersumber dari nash. Sehingga telah terjabarakan dengan penjelasan yang sangat detail. Karena penjelasan taklif sudah detail, maka mucullah kriteria-kriteria taklif yang dapat disimpulkan dari pendapat berbagai ulama.
Tidak semua manusia yang diberi beban dapat melakukan apa yang dibebankan. Akhirnya muncullah term yang bernama “masyaqah”. Kemudian bagaimana ketika orang berhadapan dengan masyaqah? Apakah berdampak kepada taklif? Bagaimana manusia menanggapinya? Untuk itu kami mencoba menjelaskan apa yang menjadi pertanyaan ini. Selamat membaca.

B.     RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah yang akan kami paparkan dalam makalah ini diantaranya:
A.    Apa itu taklif?
B.     Apa saja kriteria taklif?
C.     Bagaimana melaksanakan taklif (beban) ketika ada masyaqah?

C.    TUJUAN PENULISAN
          Dengan adanya rumusan masalah ini, maka  tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
   1. Mengetahui secara matang tentang taklif.
   2. Mengetahui kriteria-kriteria taklif.
   3. Mengetahui kriteria masyaqah.
   4. Dapat menyelesaikan masalah ketika berhadapan dengan masyaqah
BAB II
PEMBAHASAN

     A.    Pengertian Taklif
Taklif adalah masdar dari kallafa yukallifu taklifan yang artinya menetapkan sebuah beban dan kesulitan, maka taklif bermakna perintah pada sesuatu yang mengandung masyaqah. Taklif menurut istilah adalah khitab tentang perintah dan larangan. Maka implikasinya mencakup hukum wajib, mandub, makruh, haram. Sedangkan ibahah dapat dikatakan taklif dapat dilihat dari hakekatnya, dan bisa dilihat dari kebiasannya.[1]
Adapun redaksi dari buku yang lain adalah taklif secara bahasa adalah menetapkan sesuatu yang di dalamnya berupa beban. Adapun secara Syara’ yaitu penetapan sesuai dengan pembahasan syara’, implikasinya ibahah juga memjadi beban karena sesuai dengan khitab tersebut. ada yang berpendapat bahwa ibahah tidak menjadi bagian dari taklif dengan berkata taklif itu tentang khitab perintah atau larangan.[2]
   B.     Kriteria-kriteria Taklif
Para ulama berbeda pendapat tentang siapa saja yang terkena hukum taklif dalam hukum syara’, apakah semua manusia secara umum, atau hanya untuk umat Islam saja. [3] dengan kata lain, apakah non-Muslim dengan kekafirannnya itu dituntut untuk melakukan beban hukum atau tidak. Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Pertama, taklif membebani semua manusia, termasuk di dalamnya orang kafir. Golongan ini dari ulama Asy’ariyah, Maturidiyah.[4]. Termasuk ulama yang berpendapat seperti ini adalah Syafi’iyah, ulama Iraq yang bermazhab Hanafi dan mayoritas dari kalangan mu’tazilah. ini berarti meskipun mereka tidak sah niatnya karena tidak beriman, namun mereka dituntut untuk melakukan ibadah itu sebagaimana berlaku terhadap mukalaf lainnya.[5]
Menurut kelompok ini orang kafir terkena taklif dan dituntut untuk melakukan hukum syara’. karena ayat-ayat taklif bersifat umum, dan ada siksa terhadap orang yang tidak melakukan hukum syara’.[6]  Alasan yang lebih  jelas adalah sebagai berikut:
1.      Ayat al-Qur’an yang memerintahkan untuk melakukan ibadat secara umum, ini berarti ayat al-Qur’an menjangkau orang-orang kafir, di antaranya seperti dalam surat al-Baqarah (2): 21: [7]
ياايهاالناس اعبدوا ربكم
“Wahai umat manusia sembahlah tuhanmu”
Lafaz “an-Nas” yang artinya manusia merupakan lafaz yang bersifat menyeluruh bagi semua manusia tanpa ada pengecualiaan.
Alasan ini ditanggapi oleh kelompok ulama yang berpendapat berbeda. Bahwa memang ayat tersebut bersifat umum dan dapat menjangkau orang kafir. Tetapi keumuman ayat tersebut telah ditakhsis dengan syarat-syaat syar’i yang tidak mungkin ibadat itu sah kecuali syarat tersebut terpenuhi. Shahnya shalat tergantung pada sahnya wudlu, sahnya wudlu tergantung pada sahnya niat, sedangkan niat tergantunng pada iman.[8]
1.      Seandainya orang kafir tidak dikenai taklif (beban) dengan hal-hal yang bersifat furu (permasalahan yang bercabang seperti halnya masalah-masalah dalam fikih), tentu tidak ada ancaman bagi orang kafir jika tidak melaksanakannya. Padahal cukukp banyak di al-Qur’an tentang ayat yang mengancam orang kafir karena meninggalkan ibadat. Seperti firman Allah dalam surat al-Fushilat (41): 6-7 yang berbunyi:
ويل للمشركين الذين لايؤتونالزكاة
“Neraka (wail) bagi orang musyrik, (yaitu) orang-orang yang tidak membayar zakat”
Dengan adanya ancaman seperti ini, nyatalah bahwa orang-orang kafir dikenai tuntutan untuk melaksanakan perintah.[9]
2.      Orang-orang kafir dikenai taklif untuk meninggalkan larangan dengan sanksi seperti halnya sanksi orang Islam, seperti berlakunya sanksi zina, mencuri dan lainnya. Hal ini disepakati para ulama. Bila dalam larangan mereka dikenai taklif untuk meninggalkannya, maka terhadap suruhanpun tentu bagitu pula. Hal ini diqiyaskan untuk kemaslahatan.
Kedua, pendapat yang menyatakan bahwa orang kafir tidak dibebani taklif. Pendapat ini dari sebagian ulama Hanafiyah, Abu Ishak al-Asfihani, sebagian kelompok Syafi’iyyah dan sebagian ulama Mu’tazilah. Mereka berpendapat bahwa orang kafir itu tidak dibebani taklif untuk melaksanakan ibadat. Karena menurut kelompok ini berlakunya taklif berkaitan dengan terpenuhinya syarat syar’i; sedangkan orang kafir tidak memenuhi syarat taklif itu (yaitu iman). Adapun argumen kelompok ini adalah:
1.      Seandainya orang kafir diberi taklif untuk melakukan furu’ syari’at, tentu mereka dituntut untuk menjalankannya. Akan tetapi tidak demikian, karena kafirnya mereka mencegah sahnya ibadat mereka.
2.      Seandainya orang kafir diberi beban hukum, tentu setelah masuk Islam mereka wajib meng-qadla apa yang dia tinggalkan saat mereka kafir. Ternyata yang demikian tidak betul, karena bila mereka  masuk Islam maka segala kekurangan pada waktu yang lalu telah dihapuskan, qoul ini berdasarkan sabda Nabi:
الاسلام يجب ما قبله
"Islam tiu memotong segala sesuatu sebelumnya”.
3.      Perintah melaksanakan ibadah untuk memperoleh pahala, sedangkan orang kafir tidak berhak menerima pahala.[10]
4.      Kalau orang kafir dibebankan melaksanakan shalat, tentunya mereka dikenakan hukuman di dunia sebagaimana seorang muslim yang meninggalkan shalat
5.      Semua ibadah orang kafir tidak diterima, karena ibadah memerlukan niat, sedangkan niat orang kafir tidak sah, akan sah jika mereka beriman terlebih dahulu.[11]
Ketiga, kelompok ulama yang berpendapat bahwa orang kafir dikenai taklif untuk meninggalkan larangan tetapi tidak dikenai taklif untuk melaksanakan suruhan, karena untuk melakaukan perbuatan yang disuruh diperlukan niat. Sedangkan untuk meninggalkan larangan cukup meninggalkannya saja, tidak perlu berniat terlebih dahulu.[12]
Pendapat ketiga ini dibantah oleh jumhur ulama, bahwa kekufuran itu dilarang dan harus ditinggalkan sebagaimana perintah akan suatu perbuatan. Perlu diingat, bahwa hal itu berhubungan dengan pahala, sehingga mereka tidak dapat memperolehnya, kecuali setelah mereka beriman. Maka meninggalkan larangan itu sebenarnya juga merupakaan perbuatan, yakni menahan diri, yang berarti pula perbuatan menahan diri.[13]
Sedangkan alasan mereka bahwa orang kafir itu tidak terkena tuntutan perintah, karena bila shalat (misalnya) diwajibkan kepada mereka, tentu mereka harus melaksanakannya. Padahal shalatnya itu tidak sah dan tidak mungkin syari’at menuntut sesuatu yang rusak (tidak sah). Dan terbukti pula, mereka tidak diwajibkan qada setelah beriman. Kemudian jumhur ulama menyangkal argumen tersebut, bahwa adanya tuntutan perintah kepada orang kafir bukanlah pada waktu ia kafir, tetapi pada saat ia telah Islam. Nabi Muhammad telah bersabda: “Islam itu mewajibkan sesuatu yang ada sebelumnya, dan mengharuskan meng-qadla terhadap apa yang dituntut kepada mereka, namun dinyatakan gugur sebagai penggembira bagi mereka (orang kafir).”[14]
Menurut al-Sayukani, yang paling benar adalah pendapat jumhur. Pada kenyataannya sebagian besar ulama menyatakan bahwa orang kafir tidak terkena tuntutan karena kekafirannya. Akan tetapi, ulama berbeda pendapat tentang siksaan yang mereka peroleh di akhirat. Menurut pendapat jumhur, mereka akan medapat dua siksa, yaitu siksa karena tidak beriman dan siksaan karena tidak melaksanakan syari’at. Namun menurut Hanafiyah berpendapat bahwa mereka hanya akan menerima satu siksan saja. Yakni karena tidak beriman.[15]
C.    Pelaksanaan taklif yang Mengandung Masyaqah
Implikasi dari taklif yaitu kemungkinan dikerjakan atau ditinggalkan mukallaf. kemudian muncul persoalan lain yang dikemukakakan para ulama ushul fikih yaitu masalah masyaqah (kesulitan) dalam taklif. Apakah boleh ditetapkan taklif terhadap amalan yang mengandung masyaqah? Dalam masalah ini para ulama usul fikih membagi masyaqah tersebut kepada dua bentuk, yaitu masyaqah mu’tadah (kesulitan biasa dan dapat diduga) dan masyaqah ghair mu’tadah (kesulitan di luar kebiasaan dan sulit diduga).[16]
Masyaqah Mu’tadah adalah kesulitan yang bisa diatasi oleh manusia tanpa membawa kemudaratan baginya. Jenis masyaqah seperti ini tidak dihilangkan oleh syara’ dari manusia dan hal ini biasa terjadi, karena seluruh perbuatan (amalan) dalam kehidupan ini tidak terlepas dari kesulitan tersebut. dengan demikian masyaqah seperti ini tidak bisa menghalangi seseorang untuk melaksanakan taklif syara’.[17]
Jenis masyaqah ini adalah jenis masyaqah yang dapat ditanggung dan mampu dilaksanakan. Masyaqah ini harus dilaksanakan dan bila dilanggar akan dikenakan sanksi hukuman. Misalnya ibadah puasa dan haji. Kedua jenis ibadahah ini tergolong berat (masyaqah), akan tetapi masyaqah tersebut dapat ditanggulangi, sehingga ibadah di atas harus dilaksanakan. Dasarnya ialah setiap beban (taklif) adalah mengandung keberatan (masyaqah), yaitu minimal melatih jiwa untuk meninggalkan larangan atau melaksanakan perintah, lantaran setiap setiap laranagan cenderung dilanggar oleh manusia.[18]
Sebagaimana sabda Rasulullah yang berbunyi:
خفت الجنة بالمكاره وخفت النار بالشهوات
“Surga diliputi oleh hal-hal yang dibenci, sedang neraka diliputi oleh hal-hal yang menyenangkan”.
Pada umumnya, penyebab timbulnya kedurhakaan adalah mengikuti hawa nafsu dan syahwat, serta memenuhi kehendaknya tanpa merasa bersalah dan berdosa. Sedang sebab-sebab timbulnya ketaatan adalah memutuskan nafsu dari segala keinginan, atau menghentikan nafsu syahwat pada batas-batas yanag telah ditentukan oleh syara’. Hal ini sangat berat (masyaqah) bagi nafsu yang tidak bisa dikendalikan.[19]          
           Syari’(pembuat hukum)dengan beberapa tuntuatannya tidak bermaksud memberi kesulitan yang datang bersasma tuntutan itu. Akan tetapi hanya bermaksud mendatangkan keuntungan (maslahah) yang timbul dari padanya, dan menetapkan kepada mukallaf, agar menanggung kesulitan pada batas-batas kemampuannya dalam rangka mencari kemaslahatan yang ditimbulkan olehnya.seperti dokter yagn menetapkan kepada pasien agar meminum obat yang pahit, akibat meminumnya pasien akan medapat kesembuhan.[20]
Masyaqah ghair mu’tadah adalah suatu kesulitan yang biasanya tidak mampu diatasi oleh manusia, karena bisa mengancam jiwa, mengacaukan sistem kehidupan manusia, baik secara pribadi maupun masyarakat, serta pada umumnya kesulitan seperti ini dapat menghalangi perbuatan yang bermanfaat.[21] Jenis masyaqah ini adalah masyaqah yang tidak dapat ditanggulangi dan tidak mamapu direalisasikan kecuali dengan mengerahkan segala kemampuan. Masyaqah jenis ini ialah, masyaqahyang bila harus dikerjakan secara kontinyu akan menimbulkan korban jiwa atau harta, atau ketidakmampuan secara mutllak.[22]
           Masyaqah semacam ini boleh dibebankan, akan tetapi tidak secara kontinyu dan abadi, serta tidak diwajibkan atas semua orang (fardlu ‘ain). Misalnya berperang untuk memperjuangkan agama Allah SWT adalah masyaqah yang sangat berat, yang tidak semua dapat menanggulanginya, dan juga tidak setiap manusia mampu melaksanakannya secara kontinyu kecuali harus mengorbankan jiwa. Oleh karena itu, berperang hanya diwajibkan secara kifayah, atas orang-orang yang memang melaksanakannya. Contoh lain, bersabar untuk tidak mengucapakan kalimat-kalimat yang menyebabkan kufur ketika dipaksa untuk mengucapkannya, adalah masyaqah yang sangat berat dan sulit ditanggulangi. Meskipun bagi meraka yang mampu, dijanjikan pahala dari Allah, dan ditempatkan di surga, dekat Rasulullah SAW. Oleh karena itu, masyaqah ini tidak diwajibkan kepada setiap manusia (fardlu ‘ain) secara kontinyu, akan tetapi hanya diwajibkan secara kifayah. Bagi meraka yang dapat menanggulanginya serta mampu melaksanakannya, maka ia memperoleh pahala dari Allah SWT.[23]
           Contoh lain adalah menyampaikan kebenaran secara terbuka di tengah-tengah penguasa yang tirani. Oleh karena itu, Rasulullah SAW bersabda:
افضل الجهاد كلوة حق لسلطان جائز
“Jihad yang paling utama adalah mengumandangkan kebenaran di tengah-tengah penguasa yang tiran”
Oleh karena itu, membebani suatu kewajiban yang sangat berat dan pada umumnya tidak dapat ditanggulanagi kecuali dengan usaha yang semaksimal mungkin, itu diperbolehkan dalam batas-batas tertentu.
           Sampai disini dapat diketahui, bahwa tuntutan Allah yang sangat berat (masyaqah) yang pada umumnya sulit ditanggulangi, terdapat dalam tiga hal berikut ini:
a.       Fardlu kifayah seperti amar ma’ruf nahi munkar yang dapat membahayakan bagi seseorang.
b.      Tuntutan-tuntutan yang tidak dapat diupayakan secara optimal kecuali dengan menyerahkan jiwa yang sangat berharga.
c.       Tuntutan-tuntutan yang berbenturan dengan hak-hak Allah atau hak-hak manusia. Dalam hal ini seseorang dituntut untuk bersabar, meskipun pada umumnya sangat berat dan sulit ditanggulangi. Seperti seseorang yang dipaksa untuk membunuh orang lain, agar menimbulkan permusuhan. Dalam kasus ini, seseorang wajib bersabar dan tidak boleh membunuh orang karena paksaan tersebut. Dalam kasus di atas dan kasus-kasus yang serupa, seseorang diwajibkan melaksanakan masyaqah yang pada umunya sulit untuk ditanggulangi.
Terkadang masyaqah yang masih dalam batas-batas kemampuan, tiba-tiba menjadi masyaqah yang diluar kemampuan seseorang. Misalnya cuaca yang sangat dingin, yang menjadikan seorang merasa berat (masyaqah) untuk berwudlu dengan air dingin.  Dengan demikian, ia diperbolehkan memakainya, kemudian mengusap pada kedua muzahnya (khuffain), bahkan jika ia tidak mampu menggunakan air, ia diperbolehkan bertayamum. Jika ia sedang berpergian, ia diberi kemudahan untuk tidak berpuasa (ifthar). Bahkan lebih jauh dari itu, bila seseorang sedang memnderita sakit yang jika ia mengerjakan ibadah puasa justru memperberat bebannya atau menghampat kesembuhan hingga memeperlambat masa sakitnya, maka ia diperbolekan untuk tidak berpuasa.[24]
Sebagai manusia seharusnya berusaha secara maksimal untuk menanggulangi masyaqah yang berada di dalam koridor kemampuannya. Seperti orang ketika pada bulan Ramadlan. Ia tetap menjalankan puasanya meski dalam keadaan sakit.[25]
Para ulama sepakat bahwa Allah tidak akan membebani sesuatu kecuali dalam batas-batas kemampun manusia. Akan tetapi, mereka tetap berselisih mengenai boleh atau tidaknya Allah membebani sesuatu yang mustahil dapat diralisasikan.
Golongan Asy’ariyah berpendapat, bahwa Allah boleh membebani sesuatu yang mustahil dapat direalisasikan. Karena Allah adalah Dzat yang menciptakan segala sesuatu, sehingga manusia tidak berhak menyakan apa yang diperbuat oleh Allah. Justru sebalikanya, manusialah yang akan ditanya tentang segala perbuatan yang telah diperbuat.[26]
Sementara itu, mayoritas ahli tahqiq berpendapat, bahwa Allah telah berjanji kepada kita, bahwa dia tidak akan membebani sesuatu, kecuali dalam batas-batas kemampuan umat manusia. Sebagaimana firman Allah yang artinya: “Sesungguhnya Allah tidak membebani seseorang melainkan dengan kesanggupannya”.
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Setiap manusia memang dikenai taklif atau beban. Beban di sini bukan seperti beban budak yang tidak mendapatkan imbalan sama sekali. Akan tetapi akan dibalas oleh Allah kelak di akhirat nanti. Ketika manusia diberi beban oleh Allah, ini berarti beban tersebut untuk kebaikan manusia sendiri. Karena kelak balasan atau pahala tersebut akan dilimpahkan kepada manusia sendiri.
Begitu juga taklif dibebankan kepada orang non-muslim, meskipun ada ulama yang berbeda pendapat. Pendapat pertama menyatakan bahwa taklif itu membebani kepada orang non-muslim. Pendapat kedua menyatakan bahwa orang non-muslim tidak dikenai taklif. Sedangkan pendapat ketiga yaitu taklif dibebankan kepada non-muslim hanya dalam masalah larangan-larangan saja. Ini berarti, taklif tidak dibebankan kepada non-muslim dalam masalah perintah, sepertihalnya shalat.
Ketika ada halangan dalam melaksanakan taklif berupa beban yang menimpa kaum muslim, maka syara’ memberi keringanan dalam melaksanakan ibaadah. Tetapi dengan catatan bahwa masyaqah yang ditimpa adalah masyaqah yang ghairu mu’tadah (kesulitan yang tidak mampu di atasi oleh mausia).
Begitulah Allah dalam menjalankan syari’atnya. Walaupun Allah membebani umatnya berupa taklif, akan tetapi Allah memberi keringanan kepada umatnya jika umatnya tidak mampu melaksanakannya. Seperti dalam al-Qur’an yang artinya: “sesungguhnya Allah tidak membebani manusia kecuali sesuai kemampuannya.

Sekian dan terima kasih.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul qodir bin Badran, al-Madkhal ila madzhab al-Imam Ahmad bin Hanbal, Juz I, al-Maktabah al-Syamilah
Al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-syari’ah, Beirut: Dar al-Ma’rifah 1973.
Haroen Nasrun,Ushul Fiqih, Jakarta;  Logos Wacana, cet III, 2001.
Iyad bin Nami al-Salmi, “Ushulul Fiqh la yasa’ al-faqih jahluh”, juz I, al-Maktabah al-Syamilah.
Khallaf Abdul wahab, “Ilmu Ushulul Fiqh” al-Azhar; Da’wah Islamiyyah Syabab, 1968.
Muhammad Abu Zahrah, Ushul fiqih, Jakarta; Pustaka Firdaus, 1994.
Sodiqin Ali, dkk, Fiqh Ushul Fiqh,  Yigyakarta; tidak tertulis, 2014.
Syafe’i Racmat, ilmu Ushul Fiqih, Bandung; Pustaka Setia, cet IV, 2010.
Syarifuddin Amir, Ushul fiqih jilid 1, Jakarta; kencana Prenada, 2010.
Umam Chaerul, Ushul Fiqih 1,  Bandung; Pustaka Setia, 1998.




[1]  Iyad bin Nami al-Salmi, “Ushulul Fiqh la yasa’ al-faqih jahluh”, juz I, hlm. 46
[2]  Abdul qodir bin Badran, al-Madkhal ila madzhab al-Imam Ahmad bin Hanbal, Juz I, hlm. 65
[3] Ali Sodiqin, dkk, Fiqh Ushul Fiqh, hlm 120.
[4] Ibid., 120.
[5] Amir Syarifuddin, Ushul fiqih jilid 1, hlm 362.
[6] Ali Sodiqin, dkk, Fiqh Ushul Fiqh, hlm 120.
[7] Amir Syarifuddin, Ushul fiqih jilid 1, hlm 363.
[8]Ibid., hlm 363.
[9] Ibid., hlm. 363.
[10] Chaerul Umam, Ushul Fiqih 1, hlm. 332 .
[11] Ibid., hlm. 332 .
[12] Ibid., hlm. 364-345.
[13] Racmat Syafe’i, ilmu Ushul Fiqih, hlm. 325.
[14] Ibid., hlm. 325-326.
[15] Ibid., hlm. 326
[16] Abu Ishaq al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-syari’ah, Beirut: Dar al-Ma’rifah 1973hlm. 91
[17] Nasrun Haroen,Ushul Fiqih, hlm. 300.
[18] Muhammad Abu Zahrah, Ushul fiqih, hlm. 486-487.
[19] Ibid., hlm. 486-487.
[20] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushulul fiqh, hlm. 210.
[21] Nasrun Haroen,Ushul Fiqih, hlm. 300.
[22] Ibid., hlm. 487.
[23] Muhammad Abu Zahrah, Ushul fiqih, hlm. 488
[24] Ibid., hlm. 492-493.
[25] Ibid., hlm. 493.
[26] Ibid., hlm. 493.

Comments

Popular posts from this blog

Nasehat Kepada Imam Syafi'i tentang Solusi Hafalan yang Buruk