Tafsir Ilmi
1.
Tafsir Ilmi
Tafsir
Ilmi (Al-tafsir Al-Ilmi) ialah penafsiran Al-Qur’an yang pembahasanya lebih
menggunakan pendekatan istilah-istilah (term-term) ilmiah dalam mengungkapkan
Al-Qur’an; dan seberapa dapat berusaha melahirkan berbagai cabang-ilmu
pengetahuan yang berbeda dan melibatkan pemikiran-pemikiran filsafat.[i]
Dalam
pandangan pendukung tafsir ilmi, model penafsiran semacam ini memberi
kesempatan yang sangat luas bagi para mufassir untuk mengembangkan berbagai
macam potensi keilmuan yang telah dan akan dibentuk dalam/dari Al-Qur’an.
Al-Qur’an tidak hanya sumber ilmu keagamaan yang bersifat
I’tiqadiyyah(keyakinan) dan amaliah (perbuatan) atau al-ulum al-dinyyah
al-I’tiqadiyyah wa al-amaliyah), akan tetapi juga meliputi semua ilmu-ilmu
keduniaan (al-ulum Al-dun-ya) yang beraneka macam jenis dan bilangannya.
Al-Rafi’I
mengatakan: “Sebagian ulama kita telah menggali dari al-Qur’an akan beberapa
petunjuk yang mengarah kepada penemuan-penemuan ilmiah atau menyingkap sebagian
dari ilmu alam yang belum banyak diketahui manusia”.[ii]
Sekalipun
dalam al-Qur’an hanya isyarat sepintas, namun kebenarannya selalu dapat
dibuktikan oleh ilmu pengetehuan modern. Andaikata ulama kita mencurahkan seluruh
perhatiannya untuk memikirkan dan mempelajari al-Qur’an tanpa pembatasan karena
kurangnya sarana yang diperlukan untuk memahaami semua isinnya, mereka tentu
akan dapat menemukan lebih banyak lagi ayat-ayat yang menunjukkan berbagai
kenyataan ilmiah dalam berbagai bidang, sekalipun al-Qur’an tidak menyebut nama
ilmu pengetahuan itu atau menguraikannya secara terperinci.
Memang
benar, jenis ilmu pengetahuan sangat membantu penafsiran sebagian makna
al-Qur’an dan amat besar kegunaanya untuk menguungkapkan kenyataan-kenyataan
yang terdapat dalam kandunagn ayat-ayat al-Qur’an. Dari sisi lain akan
memperoleh berbagai ilmu pengetahuan tambahan. Ayat-ayat al-Qur’an senantiasa
membuka diri bagi akal pikiran , dan memberikan pengertian yang benar mengenai
apa saja . bahkan ia telah menunjukkan dalil-dalil pembuktian mengenai segala
sesuatu, baik yang berada dibawah lapisan bumi maupun diruang angkasa.
Tidak
diragukan lagi, semua ilmu pengetahuan yang diperoleh dari al-Qur’an, setelah
diseleksi dan diperiksa kegunaannya secara benar, pasti akan mendorong pemikiran
manusia kepada satu titik tujuan, yaitu meyakini bahwa agama Islam adalah suatu
kebenaran yang datang dari Allah. Kebenaran yang tak dapat disangkal lagi
sebagai fitrah Ilahi dan dengan dasar fitrah itu, Allah menciptakan manusia. Karena itu manusia akan benar-benar meyakini agama Islam adalah agama
yang sepenuhnya sesuai dengan alam kodratnya sendiri.
Diantara ulama yang memberi lampu hijau untuk mengembangkan tafsir ilmi
ialah al-Ghazali (450-505 H/1057-1111 M) Jalal al-Din al-Suyuti (w. 911 H1505
M) Thanthowi Jauhari (1287-1358/1870-1939 M)dan Muhammad Abduh (1265 -1323 H/
1849-1905 M).
Perjalanan
corak tafsir ilmi ini bukan berarti tidak mendapat tantangan. Para sarjana
muslim mengkhawatirkan keabsahan dengan penafsiran corak ini. Mereka
berpendapat bahwa ilmu pengetahuan memiliki khas kebenaran yang sangat relatif,
sedangkan al-Qur’an sebaliknya. Apabila pendekatan ini terus dikembangkan, akan
lahir asumsi bahwa kebenaran pesan al-Qur’an sangat relatif dan berubah-ubah,
seperti halnya ilmu pengetahuan.[iii]
Tidak sedikit mufassir yang keberatan terhadap penafsiran Al-Qur’an yang
bersifat keilmu-tekhnologian ini terutama atas alasan fungsi Al-Qur’an sebagai
petunjuk (kitab hidayah), bukan sebagai buku ilmu pengetahuan. Di antara ulama
yang mengingkari kemungkinan pengembangan tafsir ilmi adalah: al-Syatibi (w.
790 H/1388 M), Ibn Taymiyyah (661-729 M/1262-1327 H), M. Rasyid Ridha
(1282-1384 H/1865-1935 M), Mahmud Syaltut (1311-1355 H/1893-1936 M), dan
lain-lain.
Al-Syatibi dalam bukunya yang berjudul al-Muwafaqat mengingatkan
dalam persoalan ini (yakni dalam hal menafsirkan al-Qur’an secara ilmiah). Sementara orang yang telah melampaui batas dalam memandang al-Qur’an. Mereka menambahkan dalam tafsirnya
setiap ilmu yang ada di masa silam dan di zaman kemudian. Mereka berpegang
kepada ucapan ‘Abdullah bin ‘Umar Ibnul-Khattab: “Jika kalian menghendaki ilmu
bangkitlah al-Qur’an, karena di dalamnya terdapat ilmu orang-orang zaman dahulu
dan zaman sekarang”.
Lebih jauh lagi al-Syatibi mengatakan, pendapat seperti di atas tadi tidak
benar dan tidak semestinya. Para sahabat Nabi adalah orang-orang yang paling
mengerti isi al-Qur’an, tetapi tak seorangpun diatara mereka berbicara mengenai
soal itu (yakni tentang penafsiran ilmiah). Berbagai ilmu yang terdapaat dalam
al-Qur’an adalah jenis-jenis ilmu yang ada pada orang-orang arab masa itu
(yakni tentang penafsiran al-Qur’an), atau jenis ilmu yang menurut taraf
kemampuan berpikir mereka dipandang amat menakjubkan. Alam pikiran mereka tidak
dapat menjangkaunya tanpa petunjuk dan keterangan-keterangan yang diberikan
kepada mereka.
Al-Syatibi berpendapat tentang menggunakan ayat al-Qur’an: “tidak ada
suatupun yang kami alpakan di dalam al-Kitab”, sebagai dalil untuk memperluas
penafsiran ilmiah, ini tidaklah dapat diterima . karena yang dimaksud dengan
kata “al-Kitab” dalam ayat tersebut adalah Luah Mahfudz.
Lalu ia menegaskan: “Menambahkan suatu yang tidak semestinya ke dalam pengertian al-Qur’an tidak diperbolehkan. Demikian pula sebaliknya,
mengingkari apa yang semestinya menjadi pengertian al-Qur’an juga tidak
dibenarkan. Dalam mencari bahan refrensi dapat memahami al-Qur’an, orang wajib
membatasi diri pada apa yang diketahui orang-orang Arab pada masa dahulu. Dengan
demikian, akan sampai pada pengetahuan tentang hukum-hukum syari’at.
Barangsiapa menempuh cara selain itu, dia akan sesat dalam memahami al-Qur’an
dan berbicara sesuatu yang tidak semestinya mengenai Allah dan RasulNya”.
Sudah dapat dipastikan bahwa al-Qur’an tidak terdapat suatu teks induk yang
bertentangan dengan bermacam-macam kenyataan ilmiah. Ini merupakan satu segi
dari kedudukannya sebagai mukjizat. Sama halnya dengan teks induk yang
mengisyaratkan kenyataan-kenyataan ilmiah, ia merupakan dalil yang membuktikan
bahwa al-Qur’an memang benar-benar mukjizat. Teks induk yang membuktikan
ke-mukjizatan al-Qur’an dalam persoalan itu cukup dan memuaskan. Segala yang
berasal dari luar teks induk adalah tambahan yang tidak meyakinkan, bahkan akan
menghadapi ayat-ayat al-Qur’an kepada berbagai macam pikiran dan teori yang
tidak berpangkal, juga tidak berujung.
Dalam kitab tafsir al-Tazi banyak bagiannya yang dapat dianggap ilmiah,
sama halnya dengan kitab tafsir Muhammad
bin Ahmad al-Iskandari yang berjudul: Kasyful-Asrar an-Nuraniyah al-Qur’aniyah
fi Ma Yata’allaqu bil-Arwahis-Samawiyah wal Qaranatu Ba’dhi Mabahitsil-hai’ah
bil-Warid fin-Nushushy-Syar’iyah; kitab tafsir al-Jawahir karya Syekh Thanthawi
jauhari.[iv]
Menurut Abd Madjid Abd al-Salam al-Muhtasib, tujuan utama dari penafsiran
Al-Qur’an menurut para mufassir terdahulu ialah menerangkan hal-hal yang
dikehendaki Allah-dalam kitab-Nya-tentang akidah, dan hukum-hukum syariat. Tetapi
ketika umat islam terjangkit perpecahan secara internal, mereka melupakan
tujuan utama dari penafsiran Al-Qur’an itu dengan lebih berorientasi kepada
penafsiran yang secara membabi buta cenderung membela dan mempertahankan
mazhabnya.[v] Dalam kalimat lain, mereka lupa diri dari tujuan semula menafsirkan
al-Qur’an.
Comments