Sebab dan Perkembangan Corak Tafsir

Kata corak, dalam literatur sejarah tafsir, biasanya digunakan sebagai terjemahan dari kata al-laun, bahasa Arab, yang berarti warna. Jadi, corak tafsir adalah nuansa atau sifat khusus yang mewarnai sebuah penafsiran. Tafsir merupakan salah saru bentuk ekspresi intelektual seorang mufassir ketika ia menjelaskan pengertian ujaran-ujaran al-Qur’an sesuai dengan kemapuannya yang sekalipun menggambarkan minat dan horizon pengetahuan sang mufassir. Minat dan horizon pengetahuan sang mufassir itulah yang muncul ke permukaan pada periode abad pertengahan.
Abad pertengahan, boleh dikatakan, sangat didominasi oleh “kepentingan” (interest) spesialisasi yang menjadi basis intelektual mafassir karena keanekaragaman corak penafsiran sejalan dengan kereagaman disiplin ilmu yang berkembang saat itu. ini terjadi karena minat pertama dan utama para mufassir saat itu sebelum ia bertindak menafsirkan al-Qur’an adalah kepentingannya.
Maka muncullah berbagai macam corak penafsiran al-Qur’an dengan berbagai karakteristiknya. Sehingga kajian tafsir al-Quran menjadi beraneka ragam. Munculnya berbagai corak tafsir al-Qur’an sekarang menjadi kekayaan khzanah tafsir al-Qur’an. Sehingga perlu bagi kita untuk mengkaji corak tafsir al-Qur’an satu persatu. Karena setiap corak memiliki gaya dan warna yang unik dan khas sesuai dengan klasifikasinya.
Munculnya berbagai macam corak al-Qur’an dipengaruhi oleh:
1.      Al-Qur’an merupakan reprentasi (perwujudan) dari “gagasan” atau “kehendak” (Iradah) dan “kekuasaan” (qudrah) Allah sebagai Dzat yang tidak terbatas ruang dan lingkup dan waktu (absolut). Oleh karena itu, upaya manusia memahami kehendak dan kekuasaan Allah, yang terbingkai dalam bahasa dan teks al-Qur’an , terkengkang oleh pengetahuan dan kemapuan dan pengetahuan manusia yang terbatas. Bukanlah hal yang mudah (tetapi bukan hal yang mustahil) untuk menjelaskan cara gagasan Allah yang tidak terbatas menjadi teks al-Qur’an yang berbatas, yaitu dengan bahasa manusia.
2.      Al-Qur’an lebih banyak turun dengan ajaran dan pesan universal, sehingga memerlukan kajian mendalam, holistic-integrated, dan meliputi banyak aspek[i]-Qur’an
Dari kedua alasan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa al-Qur’an pantas dikatakan Shalih li kulli zaman wa makan. Maka tak ayal jika pada masa mendatang menimbulkan corak-corak baru dalam menafsirkan al-Qur’an. Karena dinamika pemikiran manusia selalu berkembang dan tak bisa dipugkiri bahwa akan ada pola pemikiran baru yang belum ditemukan. Tetapi karena al-Qur’an Shalih li kulli zaman wa makan, maka al-Qur’an akan dan mestinya dapat sesuai dengan corak yang ditemukan.



[i] Muhammad al-Ghazali, al-Qur’an kitab zaman kita, h. 234.

Comments

Popular posts from this blog

Nasehat Kepada Imam Syafi'i tentang Solusi Hafalan yang Buruk